Minggu, 29 April 2012

Sejarah Wayang Golek Sunda


Tentang Wayang Golek
Wayang golek atau disebut “golek” saja, merupakan salah satu jenis tradisi yang hingga sekarang masih tetap bertahan hidup di daerah Sunda. Berbeda dari wayang kulit yang dwimatra, golek adalah salah satu jenis wayang trimatra.
Golek memiliki sifat pejal. Ia merupakan boneka tiruan rupa manusia (ikonografi), yang dibuat dari bahan kayu bulat torak untuk mempertunjukkan sebuah lakon.
Ada 2 macam wayang golek di daerah Sunda, yaitu wayang golek papak (cepak atau wayang golek menak dan wayang golek purwa. Wayang golek yang banyak dikenal orang adalah wayang golek purwa. Sama seperti wayang kulit, pementasan wayang golek purwa menampilkan cerita Ramayana dan Mahabharata.
Apa itu Wayang?
Wayang merupakan salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang sendiri meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sasra, seni lukis, seni pahat dan juga seni perlambang.
Menurut penelitian ahli sejarah, sebetulnya budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia yang sudah ada jauh sebelum agama Hindu masuk ke pulau Jawa. Memang, cerita wayang yang populer saat ini merupakan adaptasi cerita dari karya sasra India, yaitu Ramayana dan Mahabrata. Tetapi sudah mengalami adaptasi untuk menyesuaikan dengan falsafah asli Indonesia.
Pengertian wayang sangat tergantung dari sudut pandang orang yang melihatnya. Kata wayang dapat diartikan secara luas, tetapi seringkali dibatasi dengan makna boneka, gambar, tiruan dari manusia, tokoh/pemain dalam suatu pertunjukan/sandiwara. Arti ini mirip dengan yang ada dalam Kamus Umum Bahasa Sunda, yaitu wayang adalah boneka atau penjelmaan dari manusia yang terbuat dari kulit atau pun kayu. Namun ada juga yang mengartikan bahwa perkataan wayang berasal dari bahasa Jawa, yang artinya perwajahan yang mengandung penerangan.
Asal Usul Wayang

Mengenai asal-usul wayang khusus di Indonesia juga ada beberapa pendapat. Ada yang mengatakan bahwa wayang berasal dari kebudayaan India yang sangat dipengaruhi oleh budaya Hindu. Pendapat lain mengatakan bahwa wayang merupakan hasil kebudayaan asli masyarakat Jawa tanpa ada pengaruh budaya lain. Disebutkan pula oleh beberapa sumber bahwa wayang berasal dari relief candi karena candi memuat cerita wayang, seperti candi Prambanan.
Bukti keberadaan wayang dalam perjalanan sejarah di Indonesia tercatat dalam berbagai prasasti, seperti prasasti Tembaga (840 M), prasasti Ugrasena (896 M), dan prasasti Belitung (907 M).
Kesenian wayang dalam bentuknya yang asli timbul sebelum kebudayaan Hindu masuk di Indonesia dan mulai berkembang pada jaman Hindu Jawa.
Pertunjukan Kesenian wayang sendiri adalah sisa-sisa upacara keagamaan orang Jawa yaitu sisa-sisa dari kepercayaan animisme dan dinamisme. Meski ada perbedaan pendapat mengenai asal-usul wayang, tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan wayang di Indonesia sudah melalui perjalanan waktu yang sangat panjang dan hingga kini masih hidup di dalam masyarakat.
Jenis Wayang
Jenis wayang dapat dibedakan dari berbagai sudut pandang. Berdasarkan cerita yang dibawakan, cara mementaskan, dan bahan pembuatannya, di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, terdapat sekitar 40 jenis wayang yang sebagian di antaranya sudah punah.
Jenis Wayang Berdasarkan Cerita

Cerita yang digunakan dalam pementasan wayang sangat beragam. Lakon wayang yang biasa dan sudah lebih dikenal masyarakat adalah Mahabharata dan Ramayana. Jenis wayang yang menggunakan kisah tersebut antara lain :
Wayang kulit, Wayang Golek,Wayang Orang, dan Wayang Jemblung.
Wayang-wayang tersebut biasa juga disebut wayang purwa.

Wayang madya (Jawa) adalah wayang yang menggunakan unsur “cerita sesudah zaman purwa”. Cerita itu mengisahkan para raja Jawa yang dianggap keturunan Pandawa.
Sementara itu wayang gedog, wayang klitik, dan wayang beber (ketiganya dari Jawa), juga wayang gambuh dan wayang cupak dari Bali, melakonkan cerita panji.

Jenis Wayang Berdasarkan Cara Pementasan
Cara pementasan wayang secara langsung berkait dengan bentuk wayang. Wayang kulit, misalnya. Pola pertunjukan wayang kulit yaitu bentuk wayang yang dinikmati bayangannya dalam kelir (layar) dihasilkan oleh sinar blencong, cempor, atau bahkan lampu pijar.
Bentuk pementasan lain adalah dengan membeberkan gambar wayang yang dibuat di atas kulit kayu, kertas, maupun bahan papar lainnya. Wayang yang dipentaskan dalam bentuk pementasan seperti itu disebut wayang beber.

Berbeda dengan pementasan wayang yang mulanya diadakan pada malam hari, wayang golek dipentaskan pada siang hari. Hal ini karena wayang golek memiliki bentuk seperti boneka, sehingga sifat pementasannya tidak menitikberatkan tampilan bayangan pada kelir sebagaimana sifat pementasan wayang pada malam hari.

Wayang klitik atau wayang krucil merupakan wayang boneka kayu, tetapi berbeda dengan wayang golek. Bentuknya pipih dan lebih menyerupai bentuk wayang kulit. Untuk mementaskannya tidak diperlukan kelir seperti pada wayang kulit, tetapi seperti memainkan golek.

Wayang dangkluk juga terbuat dari kayu, tetapi cara pementasannya sangat khusus. Wayang ini digantungkan pada empat utas kawat yang direntangkan melintasi panggung. Yang mempertunjukkannya adalah dua orang dalang yang masing-masing berada di sisi panggung.
Selain wayang-wayang yang terbuat dari kulit maupun kayu, ada pula wayang yang pemainnya orang, yaitu wayang orang, wayang topeng, wayang langendria, dan wayang jemblung. Pementasannya sama dengan sandiwara lainnya, hanya saja memakai kelengkapan pewayangan mulai dari pakaian, musik, tari, dan cerita.

Jenis Wayang Berdasarkan Bahan Pembuatannya
Bahan pembuatan wayang secara garis besar terdiri atas bahan dwimatra dan trimatra. Jenis wayang dwimatra biasa menggunakan bahan-bahan papar seperti kertas, kain, karton, dan kulit. Sementara itu jenis wayang trimatra terbuat dari bahan pejal berupa kayu bulat-torak.
Jenis wayang terbuat dari kulit antara lain wayang kulit purwa, wayang madya, wayang gedog, wayang dupara, wayang jawa, wayang dobel, wayang kulit menak, wayang wahyu, wayang Ramayana, wayang parwa, wayang gambuh, wayang cupak, dan wayang calonarang.
Wayang beber merupakan jenis wayang yang dibuat di atas beberan kertas, kain, atau bahan sejenis lainnya. Keberadaannya pun berbeda dengan jenis wayang lainnya. Ia tidak mengalami perkembangan yang sinambung hingga kini.
Wayang yang terbuat dari bahan kayu terdiri atas dua macam. Pertama, wayang golek. Wayang ini lebih mirip dengan boneka kayu yang terbuat dari kayu bulat-torak. Kedua, wayang yang lebih mirip wayang kulit, dibuat dari kayu pipih. Jenis wayang ini disebut wayang klitik.
Wayang Golek Sunda

Sejarah Singkat
Di Jawa Barat, tempat berkembangnya wayang pertama kali adalah Cirebon, yaitu pada masa Sunan Gunung Jati (abad ke-15). Jenis wayang yang pertama kali dikenal adalah jenis wayang kulit. Sementara wayang golek mulai dikenal di Cirebon pada awal abad ke-16 dan dikenal dengan nama wayang golek papak atau cepak. Dalam perkembangannya, kita lebih mengenal wayang golek purwa, yaitu yang berlatar belakang cerita Ramayana dan Mahabharata.
Kelahiran golek berasal dari ide Dalem Bupati Bandung (Karang Anyar) yang menugaskan Ki Darman, juru wayang kulit asal Tegal yang tinggal di Cibiru, untuk membuat bentuk golek purwa. Awalnya wayang kayu ini masih dipengaruhi bentuk wayang kulit, yaitu gepeng atau dwimatra. Pada perkembangan selanjutnya, tercipta bentuk golek yang semakin membulat atau trimatra seperti yang biasa kita lihat sekarang. Kemudian, pembuatan golek pun menyebar ke seluruh wilayah Jawa Barat seperti Garut, Ciamis, Ciparay, Bogor, Kerawang, Indramayu, Cirebon, Majalaya, dan sebagainya.

Sumber : http://dwihimura.wordpress.com/2009/03/06/wayang-golek-sunda-from-konten-digital-depkominfo-ri/

Selasa, 24 April 2012

Sejarah Lenong Betawi, Soto Betawi, dan Suku Betawi

  • Sejarah Lenong 
     Lenong adalah teater tradisional Betawi. Ini seni tradisional  musik Gambang Kromong disertai dengan alat musik seperti gambang, kromong, gong, drum, kempor, seruling, dan kecrekan, serta unsur alat musik Cina seperti tehyan, kongahyang, dan sukong. Memutar atau skenario Lenong umumnya mengandung pesan moral, yang membantu keserakahan, lemah dibenci dan perbuatan tercela. Bahasa yang digunakan dalam lenong adalah bahasa Melayu (atau sekarang bahasa Indonesia) dialek Betawi.
     Lenong berkembang sejak akhir abad 19 atau awal abad 20. Seni teater mungkin merupakan adaptasi oleh masyarakat Betawi seni yang sama seperti "komedi bangsawan" dan "teater opera" yang sudah ada pada saat itu. Selain itu, Firman Muntaco, seniman Betawi, menyatakan bahwa berevolusi dari proses teater lenong musik Gambang Kromong dan sebagai tontonan sudah dikenal sejak 1920-an.
    Para pemain Lenong berevolusi dari lelucon-lelucon tanpa plot-tali digantung pada sebuah pertunjukan dengan bermain sepanjang malam dan utuh. Pada seni pertama dipamerkan dengan menyanyikan dari desa ke desa. Acara ini diadakan di udara terbuka tanpa panggung. Sebagai acara berlangsung, salah satu aktor atau aktris di sekitar penonton sementara meminta sumbangan secara sukarela. Selanjutnya, mulai Lenong dilakukan atas permintaan pelanggan dalam acara-acara di panggung hajatan seperti resepsi pernikahan. Baru pada awal kemerdekaan, teater rakyat ini murni menjadi spectac panggung.
    Setelah mengalami masa sulit, dalam seni lenong yang dimodifikasi tahun 1970-an mulai rutin dilakukan di panggung Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Selain menggunakan unsur teater modern dalam tahap plot dan tata letak, Lenong yang direvitalisasi ke dalam dua atau tiga jam dan tidak lagi sepanjang malam.Selanjutnya, lenong juga menjadi populer lewat pertunjukan di televisi, yang ditayangkan oleh Televisi Republik Indonesia dimulai pada 1970-an. Beberapa seniman lenong yang menjadi terkenal sejak saat itu misalnya adalah Bokir, Nasir, Siti, dan aneh.
    Ada dua jenis yaitu Lenong Denes dan Lenong Lenong preman. Dalam Lenong Denes (dari Denes dalam dialek Betawi yang berarti, Äúdinas, Äù atau, Äúresmi, Äù), aktor dan aktris biasanya memakai pakaian formal dan kisahnya sedang menyiapkan kerajaan atau lingkungan kaum bangsawan, sedangkan dalam pakaian sipil dikenakan Lenong tidak ditentukan oleh sutradara dan cerita umum kehidupan sehari-hari. Selain itu, kedua jenis tersebut dibedakan juga Lenong dari bahasa yang digunakan, Denes Lenong umumnya menggunakan bahasa halus (tinggi Melayu), sementara Lenong preman menggunakan bahasa percakapan sehari-hari.
    Kisah dimainkan dalam contoh preman lenong adalah cerita tentang orang-orang yang ditindas oleh tuan tanah dengan pemungutan pajak dan munculnya tokoh pejuang doa taat yang membela rakyat dan melawan tuan tanah jahat. Sementara itu, contoh adalah kisah Lenong Denes 1001 cerita malam.
    Dalam perkembangannya, Lenong preman dan berkembang lebih populer daripada Lenong Denes.
  • Sejarah Soto Betawi 
Soto Betawi Lokasari didirikan oleh Li Boen Po, berdiri sejak 1971. Beliaulah pencipta PERTAMA kata Soto Betawi.

    Berikut adalah sejarah lahirnya kata Soto Betawi tsb:
Orangtua saya berdagang dari tahun 1971, lokasi pertama berdagang adalah dijalan Buni daerah Tangki. Dengan menggunakan tenda kaki lima di depan rumah mertua. Pada waktu itu orang tua saya berdagang soto siang hari dan pada malam hari berdagang alat tulis buku di THR Lokasari (Toko Buku Masa Muda).Sejalan dengan perkembangan waktu, dengan kemurahan rejeki dari Tuhan, Bapak saya mulai pindah berdagang soto di Lokasari (dahulu Princen Park).
   Lokasi toko berada di sebelah gardu listrik, lokasinya berada di jalan antara bioskop Rukiah dan bioskop Tamansari. Tak lama kemudian Bapak saya mulai menyewa lagi toko disebelah toko yang pertama (toko Muaci), utk memperluas daya tampung pembeli. Sejalan dengan waktu lama kelamaan harga sewa menjadi tidak reasonable.
  Akhirnya Bpk mengakhiri penyewaan toko tsb, lalu membeli toko tepat disebrang dari toko yang pertama, letak toko yang baru dibeli itu bersebelahan dengan Foto Studio Supra dan Toko kaset Infonics, bekas Toko buku Mimosa.
   Foto Studio Supra sangatlah terkenal pada waktu itu, banyak artis dan pejabat yang foto disana (Erni Johan, Titik Puspa, Idris Sardi dll) Karena persaingan bisnis, pemilik toko yang pernah disewa, mengundang penjual soto lain utk berdagang. Mereka berdagang dengan niat menyaingi berdagang soto. Mulai saat itulah (sekitar tahun 1978 ) Bpk saya (Li Boen Po) mulai berpikir utk memberi nama pada sotonya agar punya identitas yang khas.
   Menurut Bpk saya, dia mengumpulkan nama soto, mulai dari soto kudus, soto madura dll, tapi utk soto jakarta belum ada, jadi akhirnya Bpk saya memberi nama soto buatannya soto Betawi (sejak itulah kata SOTO BETAWI pertama kali muncul dalam kuliner 1978). Pada jaman itu belum ada satu pun penjual soto yang memberi nama soto yang dijualnya dengan nama soto betawi, seorang bernama Li Boen Po lah yang menciptakannya.
   Maaf bukan maksud saya mengatakan tidak ada soto pada tahun 1978, tapi utk kata SOTO BETAWI, Bpk sayalah yang pertama menciptakannya.
Pada masa itu, soto sapi dijual dengan sebutan SOTO KAKI / SOTO SAPI BANG ..... dst.
  Saya teringat waktu itu merk dibuat di jalan pangeran Jayakarta, dengan dibonceng naik sepeda sepulang sekolah di SD Suci Hati Pinangsia (kelas 3/4 SD) saya dan Bapak saya menyusuri daerah bociang (pangeran jayakarta) yg pada saat itu memang cukup banyak yg membuat reklame, pada saat itu reklame masih menggunakan acrylic putih susu yang dipotong, tidak spt sekarang yang banyak memakai stiker tempel. 
  • Sejarah Suku Betawi
    Pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu.
Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawa Belong.
Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.
Ada juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup penduduk di luar benteng tersebut yang disebut masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di luar benteng Batavia tersebut sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional. Hal ini terjadi karena pada abad ke-6, kerajaan Sriwijaya menyerang pusat kerajaan Tarumanegara yang terletak di bagian utara Jakarta sehingga pengaruh bahasa Melayu sangat kuat disini.
Selain itu, perjanjian antara Surawisesa (raja Kerajaan Sunda) dengan bangsa Portugis pada tahun 1512 yang membolehkan Portugis untuk membangun suatu komunitas di Sunda Kalapa mengakibatkan perkawinan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis yang menurunkan darah campuran Portugis. Dari komunitas ini lahir musik keroncong.

Sumber : http://kozzim.blogspot.com/2009/09/sejarah-betawi.html,  http://soto-betawi-lokasari.blogspot.com, http://teknoclever.blogspot.com/2012/03/sejarah-lenong-betawi.html