Selasa, 24 April 2012

Sejarah Lenong Betawi, Soto Betawi, dan Suku Betawi

  • Sejarah Lenong 
     Lenong adalah teater tradisional Betawi. Ini seni tradisional  musik Gambang Kromong disertai dengan alat musik seperti gambang, kromong, gong, drum, kempor, seruling, dan kecrekan, serta unsur alat musik Cina seperti tehyan, kongahyang, dan sukong. Memutar atau skenario Lenong umumnya mengandung pesan moral, yang membantu keserakahan, lemah dibenci dan perbuatan tercela. Bahasa yang digunakan dalam lenong adalah bahasa Melayu (atau sekarang bahasa Indonesia) dialek Betawi.
     Lenong berkembang sejak akhir abad 19 atau awal abad 20. Seni teater mungkin merupakan adaptasi oleh masyarakat Betawi seni yang sama seperti "komedi bangsawan" dan "teater opera" yang sudah ada pada saat itu. Selain itu, Firman Muntaco, seniman Betawi, menyatakan bahwa berevolusi dari proses teater lenong musik Gambang Kromong dan sebagai tontonan sudah dikenal sejak 1920-an.
    Para pemain Lenong berevolusi dari lelucon-lelucon tanpa plot-tali digantung pada sebuah pertunjukan dengan bermain sepanjang malam dan utuh. Pada seni pertama dipamerkan dengan menyanyikan dari desa ke desa. Acara ini diadakan di udara terbuka tanpa panggung. Sebagai acara berlangsung, salah satu aktor atau aktris di sekitar penonton sementara meminta sumbangan secara sukarela. Selanjutnya, mulai Lenong dilakukan atas permintaan pelanggan dalam acara-acara di panggung hajatan seperti resepsi pernikahan. Baru pada awal kemerdekaan, teater rakyat ini murni menjadi spectac panggung.
    Setelah mengalami masa sulit, dalam seni lenong yang dimodifikasi tahun 1970-an mulai rutin dilakukan di panggung Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Selain menggunakan unsur teater modern dalam tahap plot dan tata letak, Lenong yang direvitalisasi ke dalam dua atau tiga jam dan tidak lagi sepanjang malam.Selanjutnya, lenong juga menjadi populer lewat pertunjukan di televisi, yang ditayangkan oleh Televisi Republik Indonesia dimulai pada 1970-an. Beberapa seniman lenong yang menjadi terkenal sejak saat itu misalnya adalah Bokir, Nasir, Siti, dan aneh.
    Ada dua jenis yaitu Lenong Denes dan Lenong Lenong preman. Dalam Lenong Denes (dari Denes dalam dialek Betawi yang berarti, Äúdinas, Äù atau, Äúresmi, Äù), aktor dan aktris biasanya memakai pakaian formal dan kisahnya sedang menyiapkan kerajaan atau lingkungan kaum bangsawan, sedangkan dalam pakaian sipil dikenakan Lenong tidak ditentukan oleh sutradara dan cerita umum kehidupan sehari-hari. Selain itu, kedua jenis tersebut dibedakan juga Lenong dari bahasa yang digunakan, Denes Lenong umumnya menggunakan bahasa halus (tinggi Melayu), sementara Lenong preman menggunakan bahasa percakapan sehari-hari.
    Kisah dimainkan dalam contoh preman lenong adalah cerita tentang orang-orang yang ditindas oleh tuan tanah dengan pemungutan pajak dan munculnya tokoh pejuang doa taat yang membela rakyat dan melawan tuan tanah jahat. Sementara itu, contoh adalah kisah Lenong Denes 1001 cerita malam.
    Dalam perkembangannya, Lenong preman dan berkembang lebih populer daripada Lenong Denes.
  • Sejarah Soto Betawi 
Soto Betawi Lokasari didirikan oleh Li Boen Po, berdiri sejak 1971. Beliaulah pencipta PERTAMA kata Soto Betawi.

    Berikut adalah sejarah lahirnya kata Soto Betawi tsb:
Orangtua saya berdagang dari tahun 1971, lokasi pertama berdagang adalah dijalan Buni daerah Tangki. Dengan menggunakan tenda kaki lima di depan rumah mertua. Pada waktu itu orang tua saya berdagang soto siang hari dan pada malam hari berdagang alat tulis buku di THR Lokasari (Toko Buku Masa Muda).Sejalan dengan perkembangan waktu, dengan kemurahan rejeki dari Tuhan, Bapak saya mulai pindah berdagang soto di Lokasari (dahulu Princen Park).
   Lokasi toko berada di sebelah gardu listrik, lokasinya berada di jalan antara bioskop Rukiah dan bioskop Tamansari. Tak lama kemudian Bapak saya mulai menyewa lagi toko disebelah toko yang pertama (toko Muaci), utk memperluas daya tampung pembeli. Sejalan dengan waktu lama kelamaan harga sewa menjadi tidak reasonable.
  Akhirnya Bpk mengakhiri penyewaan toko tsb, lalu membeli toko tepat disebrang dari toko yang pertama, letak toko yang baru dibeli itu bersebelahan dengan Foto Studio Supra dan Toko kaset Infonics, bekas Toko buku Mimosa.
   Foto Studio Supra sangatlah terkenal pada waktu itu, banyak artis dan pejabat yang foto disana (Erni Johan, Titik Puspa, Idris Sardi dll) Karena persaingan bisnis, pemilik toko yang pernah disewa, mengundang penjual soto lain utk berdagang. Mereka berdagang dengan niat menyaingi berdagang soto. Mulai saat itulah (sekitar tahun 1978 ) Bpk saya (Li Boen Po) mulai berpikir utk memberi nama pada sotonya agar punya identitas yang khas.
   Menurut Bpk saya, dia mengumpulkan nama soto, mulai dari soto kudus, soto madura dll, tapi utk soto jakarta belum ada, jadi akhirnya Bpk saya memberi nama soto buatannya soto Betawi (sejak itulah kata SOTO BETAWI pertama kali muncul dalam kuliner 1978). Pada jaman itu belum ada satu pun penjual soto yang memberi nama soto yang dijualnya dengan nama soto betawi, seorang bernama Li Boen Po lah yang menciptakannya.
   Maaf bukan maksud saya mengatakan tidak ada soto pada tahun 1978, tapi utk kata SOTO BETAWI, Bpk sayalah yang pertama menciptakannya.
Pada masa itu, soto sapi dijual dengan sebutan SOTO KAKI / SOTO SAPI BANG ..... dst.
  Saya teringat waktu itu merk dibuat di jalan pangeran Jayakarta, dengan dibonceng naik sepeda sepulang sekolah di SD Suci Hati Pinangsia (kelas 3/4 SD) saya dan Bapak saya menyusuri daerah bociang (pangeran jayakarta) yg pada saat itu memang cukup banyak yg membuat reklame, pada saat itu reklame masih menggunakan acrylic putih susu yang dipotong, tidak spt sekarang yang banyak memakai stiker tempel. 
  • Sejarah Suku Betawi
    Pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu.
Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawa Belong.
Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.
Ada juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup penduduk di luar benteng tersebut yang disebut masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di luar benteng Batavia tersebut sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional. Hal ini terjadi karena pada abad ke-6, kerajaan Sriwijaya menyerang pusat kerajaan Tarumanegara yang terletak di bagian utara Jakarta sehingga pengaruh bahasa Melayu sangat kuat disini.
Selain itu, perjanjian antara Surawisesa (raja Kerajaan Sunda) dengan bangsa Portugis pada tahun 1512 yang membolehkan Portugis untuk membangun suatu komunitas di Sunda Kalapa mengakibatkan perkawinan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis yang menurunkan darah campuran Portugis. Dari komunitas ini lahir musik keroncong.

Sumber : http://kozzim.blogspot.com/2009/09/sejarah-betawi.html,  http://soto-betawi-lokasari.blogspot.com, http://teknoclever.blogspot.com/2012/03/sejarah-lenong-betawi.html  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar